Pages

Sabtu, 28 Mei 2011

When love be a story





“MASA DEPANMU, BUKAN AKU”

 By: asma_wh

Entahlah, aku tidak tahu dari mana aku harus memulai agar Fahri bisa mengerti keadaanku sekarang ini. Terlalu sulit untuk mengatakannya, jika hatinya terluka maka aku pun akan merasakan luka yang dirasakannya karena ikatan perasaan cinta antara dua hati akan ada kontak batin, tapi apa yang akan terjadi jika yang melukai adalah salah satu dari hati tersebut?
Aku meliriknya dengan ekor mataku, kulihat wajahnya yang penuh keresahan. Aku sendiri heran kenapa dia bisa duduk di sampingku, seharusnya dia ada di bis pertama bukan bis ketiga seperti sekarang ini.
“Seharusnya dalam reuni ini tidak ada masalah antara kita berdua.”
Fahri berkata seperti itu tanpa menoleh ke arahku, dia seakan fokus pada telpon seluler yang sedang dipegangnya padahal hatinya kacau balau. Aku pura-pura tidak mendengarnya seakan-akan suaranya hilang di antara  deru mesin mobil yang akan mengantar kami ke Bantimurung.
“Yang aku tidak mengerti apa masalahnya?” Katanya setengah bertanya.
Aku tetap diam. Apa masalahnya? Pertanyaan yang tidak bisa kujawab karena aku pun tidak tahu permasalahannya.
“Tidak baik diam jika ada orang yang mangajak berbicara, tidak sopan namanya.”
Aku menoleh.
“Andasriani Pratiwi!!!” Dia menatapku tajam.
Baru kali ini aku mendengar Fahri menyebut namaku dengan lengkap, biasanya dia hanya memanggilku Das.
“Ada apa?”
Dia menarik nafas, “Kamu bertanya ada apa, seharusnya aku yang mengatakannya.”
“Aku tidak dengar kamu tadi bilang apa.”
“Tidak dengar atau pura-pura tidak dengar.” Dia kembali mengotak-atik HPnya.
“Terserah.”
“Aku tidak mengerti, Das?”
“Kamu akan mengerti.”
“Kapan?”
Aku menarik nafas dalam-dalam, rasanya aku ingin berteriak menyuruhnya diam dan berhenti bertanya.
“Kapan, Das?” Tanyanya lagi.
“Bisakah kamu diam sedetik saja.” Aku tidak bisa menahan diriku lagi, dengan perasaan yang kacau balau aku membentaknya.
Aku sendiri kaget dengan diriku, semua mata di dalam bis itu tertuju padaku kecuali Pak Supir. Aku menoleh ke belakang dan kulihat Riswan menatapku tak berkedip, aku menemukan cemburu pada tatapannya.
Kini Fahri terdiam, dia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi sambil memejamkan matanya. Aku menoleh ke luar jendela bis dengan sejuta perasaan gundah, seharusnya Riswan juga di bis pertama bukan bis ketiga kataku dalam hati.
Riswan adalah sahabat Fahri, walaupun mereka bersahabat tapi karakternya berbeda. Fahri adalah cowok agresif lagi cakep. Aku sendiri tidak pernah menyangka bisa jadian dengannya padahal aku tidak pernah berharap itu terjadi, terlalu banyak yang suka padanya jadi aku tidak berani  menyukainya. Sedangkan Riswan, aku tidak tahu apa dia itu cuek atau sombong, dia itu tidak banyak bicara, mungkin kata-kata yang diucapkannya dalam sehari tidak lebih dari selembar kertas saja.
Aku, Fahri, dan Riswan tinggal di daerah yang sama, sejak SMP sampai SMA aku dan Riswan selalu sekelas, rumahnya pun hanya setengah kilometer dari rumahku tapi bukan berarti aku dekat dengannya bahkan aku seperti tidak mengenalnya, sedangkan Fahri satu sekolah dengan aku di SMA tapi aku tidak sekelas dan tidak saling kenal, Aku baru mengenalnya waktu kami sama-sama mendaftar di universitas tempatku kuliah sekarang ini. Seandainya bukan karena Fahri mungkin aku tidak akan pernah bertegur sapa dengan Riswan.
“Selama ini kamu tidak pernah membentakku selembut itu.” Katanya lirih.
Pandai sekali dia menggunakan majas ironi. Aku tidak mengacuhkannya, sejak aku mengenalnya hingga sekarang aku tidak pernah membentaknya karena dia memang tidak pernah melakukan sesuatu yang pantas dibentak, tapi sekarang aku yang telah melakukan kesalahan aku pula yang membentaknya.
“Setidaknya menjadi satu kenangan.”
Dia bicara seolah-olah pada dirinya sediri. Matanya masih terpejam namun dia tidak seperti orang yang sedang tidur karena di wajahnya jelas tergambar kalau dia sedang memikirkan sesuatu.
“Menjadi satu kenangan.” Aku mengulanginya dalam hati.
Ya, mungkin saja. Semua yang kita lalui bersama akan menjadi kenangan yang hanya dimiliki oleh kita berdua. Kenangan itu hanya akan disimpan dalam lembaran-lembaran waktu yang tidak mungkin terulang lagi, jika ingin mengulanginya putarlah jam agar kembali pada kenangan itu tapi waktu tidak akan mau mengikuti arah putaran jam tersebut.
“Kita sudah sampai.”
Aku tersentak. Terlalu jauh aku melamun sehingga tak terasa mobil sudah berhenti, sorak-sorai teman-temanku berhamburan keluar dari mobil pun tidak kudengar.
“Yang lainnya ke mana?” Tanyaku setelah menoleh ke depan dan ke belakang hanya aku dan Fahri yang berada di dalam bis itu.
“Mereka sudah pergi 15 menit yang lalu.”
“15 menit yang lalu!?”
“Makanya kalau melamun jangan overdosis.” Katanya sambil mengambil ranselnya kemudian turun dari bis, aku pun menyusulnya. Tiba-tiba dia menarik tanganku kemudian dengan langkah terpaksa aku mengikutinya.
“Kita mau ke mana?” Tanyaku sambil berusaha melepaskan tanganku.
Dia berhenti tapi masih tetap memegang tanganku.
“Kita ke sini untuk happy-happy bersama teman SMA kita, kamu jangan membuang kesempatan ini untuk bersilatuhrahmi dengan mereka.”
“Happy-happy katamu, kamu masih happy di antara masalah yang kita hadapi tapi aku tidak bisa.” Katanya kemudian melanjutkan perjalanannya.
Mau tak mau aku harus ikut karena dia tidak mau melepaskan tanganku dan bahkan makin erat. Tiba-tiba dia berhenti, jantungku terasa berdetak kencang ketika kulihat Riswan sedang berdiri di depannya.
“Kalian mau ke mana?”
“Menyelesaikan satu masalah.”
Aku menarik nafas mendengar jawaban Fahri. Perlahan-lahan aku mengangkat kepalaku namun aku kembali menunduk ketika kutemukan tatapan Riswan yang tajam.
“Ooo….” Katanya kemudian berlalu beranjak meninggalkan kami berdua.
Aku mengikuti langkahnya dengan ekor mataku, agaknya Fahri tidak terlalu curiga sikapku yang berubah pada Riswan akhir-akhir ini, wajar juga sih kalau dia tidak curiga karena Riswan memang jarang menyapaku kecuali jika hal yang penting seperti dua bulan lalu. Cukup mengherankan bagiku ketika dia menyuruhku ke perpustakaan umum sendirian tapi aku tetap pergi karena seperti biasa, mungkin urusan penting.
“Apakah kamu mencintai Fahri dengan tulus ?” Kalimat pertama yang diucapkannya ketika aku duduk di hadapannya waktu itu.
Aku tidak langsung menjawab tetapi mencari tujuan dari pertanyaannya itu dengan cara menatapnya tapi seperti biasa, dia seakan-akan tidak merasakan kehadiranku.
“Ya.” Jawabku singkat, mungkin dia hanya ingin mengetesku.
Dia diam.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
Dia memperbaiki posisi duduknya,“Pernahkah kamu merasa ada orang yang mencintaimu seperti kamu mencintai Fahri?”
Ditanya malah balik bertanya.
“Aku tidak mengerti, Ris.”
“Kamu memang tidak pernah mengerti, sejak dahulu kamu tidak pernah mengerti.”
“Apa maksudmu?” Tanyaku bingung mendengar suaranya yang dingin.
“Aku mencintaimu, Das.”
Hah !!!
“Sejak aku mengenalmu di SMP, tapi aku adalah pembohong yang membohongi diriku sendiri kalau aku suka padamu.”
“Jangan mengada-ada, Ris.” Kataku tidak percaya.
“Aku tidak suka berbuat lelucon Das, ini adalah kenyataan yang tidak bisa kupungkiri.”
“Tapi aku dan ….”
“Ya, perlu kamu tahu aku tidak akan melepaskanmu.”
Dia berdiri kemudian meninggalkanku. Aku hanya mampu menarik nafas, tidak percaya apa yang dikatakannya barusan. Bukankah dia sahabat Fahri? Bukankah dia sudah tahu perasaan aku dan Fahri? Aku bingung akan problema dalam hidupku. Mungkin itulah penyebabnya perubahan sikapku akhir-akhir ini, atau mungkin karena sebab lain.
“Das!”
Aku kaget ketika seseorang menepuk bahuku.
“Akhir-akhir ini kamu sering melamun, kamu sudah berubah, bahkan kamu pulang tidak memberi tahuku, kesabaranku sudah hampir sirna.”
“Aku memberitahumu kalau aku pulang.”
“Ya, hanya sehari dua hari katamu nyatanya sebulan.”
Aku memejamkan mataku. Aku harus memulainya dari mana?
“Kamu sangat berubah Das, kamu melarang aku ke kostmu, selalu sibuk jika kuajak bertemu, apa yang mengubahmu selama sebulan itu?”
“Aku pulang karena ayahku sakit.”
“Itu bukan berarti kamu berubah padaku kan.”
Aku menunduk.
“Berhentilah membuat aku seperti ini, kamu menyakitiku dengan sikapmu, kamu melukaiku dengan rasa penasaran, kamu menyiksaku dengan keadaan ini.” Nada suaranya tinggi.
Aku hanya mampu diam.
“Bicaralah Das.”
Dia duduk di sampingku. Aku menoleh, menatapnya. Nampak di wajahnya amarah yang ditahan, matanya tak berkedip memandang sepasang kupu-kupu yang terbang beriringan di hadapan kami.
Kulihat jam dipergelangan tanganku, sudah hampir seperempat jam kami hanya membisu.
Aku menarik nafas, “Aku telah menikah, Fahri.” Ucapku lirih.
Dia menatapku dengan tatapan tidak percaya mencari kebenaran dari ucapanku, sekali lagi aku hanya mampu menunduk menghimpun kekuatan agar tidak menangis. Aku mengagguk ketika kusadari dia menunggu penegasan dari apa yang aku katakan barusan.
Dia berdiri kemudian melangkah dua meter di hadapanku. Dia menutup wajahnya.
“Dengan siapa?” Katanya lima menit kemudian.
Aku tidak menjawab.
“Kenapa kamu melakukannya padaku, aku tulus dan kamu tidak menghargai ketulusanku, kamu tahu dengan jelas harapanku selama ini hanyalah cita-cita dan cinta, cinta itu adalah kamu.” Setengah berteriak dia menunjukku.
“Ya, tapi semuanya tidak bisa kau dapatkan.”
Dia kembali duduk di sampingku, “Kenapa kamu ingin menjauh dariku?”
“Karena aku tahu cita-citamu harus kamu utamakan.”
“Apa maksudmu?”
“Semakin hari ayahku semakin lemah dan dia ingin menjadi wali bagi putri satu-satunya.”
“Itu bisa kita selesaikan bersama kan, seandainya kamu mengatakannya padaku mungkin….”
“Jangan berandai-andai lagi, itu tidak mungkin terjadi karena aku baru tahu keinginan ayahku ketika dia memanggilku seminggu sebelum hari pernikahanku, aku tidak bisa mengelak lagi, aku tidak mau melihat kekecewaan di mata orang tuaku, keluargaku, dan semuanya jika aku menolak menikah.” Kataku terisak.
Fahri meraih jemariku, dipegangnya erat-erat.
 “Siapa yang dipilih ayahmu untukmu?” Tanyanya sambil menghapus air mataku.
Sekali lagi aku hanya diam, bibirku terasa kaku menjawab pertanyaannya. Aku merasa lemah menjadi seorang perempuan, terkadang masalah hanya mampu kuselesaikan dengan menangis sedangkan laki-laki selalu bisa tampil tegar walaupun di dalam hatinya tidak.
“Riswan.” Jawabku kemudian, pendek tapi sangat sulit kuucapkan.
Kali ini hanya bisu yang ada di antara kami. Aku tidak tahu apa yang dirasakannya tapi yang kurasakan adalah perasaan lega karena beban berat seakan terangkat dari punggungku.
“Kenapa harus dia?”
Kutemukan sedikit isak tangis dalam kalimatnya. Aku menoleh ke arahnya, walaupun hari mulai beranjak gelap tapi aku masih bisa melihat beberapa tetes air mata mengalir di pipinya.
Aku mengarahkan bola mataku ke arah air terjun Bantimurung, tiada siapa-siapa di sana. Aku menoleh ke belakang dan aku hanya terpaku ketika melihat seseorang di sana.
“Maaf mengganggu, hari makin gelap dan tinggal kalian berdua yang ditunggu rombongan.” Katanya kemudian berlalu.
Aku mengikuti langkahnya dengan ekor mataku, sedari tadikah dia di sana? Fahri tidak menoleh walaupun suara itu sangat dikenalnya, suara Riswan.
Aku melepaskan tangannya pelan-pelan kemudian berdiri.
“Orang-orang sedang menunggu kita.” Aku hendak melangkah tapi dia memegang tangaku kembali.
“Kamu mencintainya?”
“Entahlah.”
“Aku hanya memerlukan jawaban ya atau tidak.”
“Mungkin belum.” Kataku singkat kemudian melangkah pergi.
“Bagiku sulit melupakan masa lalu denganmu.” Katanya ketika aku mencapai langkah ketiga.
Aku berhenti tanpa menoleh, “Kamu harus bisa, karena masa depanmu bukan aku, salah satu keinginanmu telah lepas dan jangan biarkan keinginanmu yang kedua lepas pula hanya karena kegagalan pertama, aku akan selalu hadir di sisimu untuk mensupportmu sebagai seorang sahabat.”
Aku pergi meninggalkannya dengan sejuta kesedihan dalam hatiku, ada kehidupan lain pada langkahku selanjutnya dan langkah yang kulalui akan kujadikan kenangan yang takkan pernah terhapus dalam catatan hidupanku.***
thanks for coming to my blog, hope you enjoy it ^_^ thanks for coming to my blog, hope you enjoy it ^_^ thanks for coming to my blog, hope you enjoy it ^_^ thanks for coming to my blog, hope you enjoy it ^_^ thanks for coming to my blog, hope you enjoy it ^_^ thanks for coming to my blog, hope you enjoy it ^_^ thanks for coming to my blog, hope you enjoy it ^_^ thanks for coming to my blog, hope you enjoy it ^_^ thanks for coming to my blog, hope you enjoy it ^_^ thanks for coming to my blog, hope you enjoy it ^_^ thanks for coming to my blog, hope you enjoy it ^_^
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...