“MASA DEPANMU, BUKAN AKU”
By: asma_wh
Entahlah, aku tidak tahu dari mana aku harus memulai agar Fahri bisa
mengerti keadaanku sekarang ini. Terlalu sulit untuk mengatakannya, jika
hatinya terluka maka aku pun akan merasakan luka yang dirasakannya karena
ikatan perasaan cinta antara dua hati akan ada kontak batin, tapi apa yang akan
terjadi jika yang melukai adalah salah satu dari hati tersebut?
Aku meliriknya dengan ekor mataku, kulihat wajahnya yang penuh keresahan.
Aku sendiri heran kenapa dia bisa duduk di sampingku, seharusnya dia ada di bis
pertama bukan bis ketiga seperti sekarang ini.
“Seharusnya dalam reuni ini tidak ada masalah antara kita berdua.”
Fahri berkata seperti itu tanpa menoleh ke arahku, dia seakan fokus pada
telpon seluler yang sedang dipegangnya padahal hatinya kacau balau. Aku
pura-pura tidak mendengarnya seakan-akan suaranya hilang di antara deru mesin mobil yang akan mengantar kami ke Bantimurung.
“Yang aku tidak mengerti apa masalahnya?” Katanya setengah bertanya.
Aku tetap diam. Apa masalahnya? Pertanyaan yang tidak bisa kujawab karena
aku pun tidak tahu permasalahannya.
“Tidak baik diam jika ada orang yang mangajak berbicara, tidak sopan
namanya.”
Aku menoleh.
“Andasriani Pratiwi!!!” Dia menatapku tajam.
Baru kali ini aku mendengar Fahri menyebut namaku dengan lengkap,
biasanya dia hanya memanggilku Das.
“Ada apa?”
Dia menarik nafas, “Kamu bertanya ada apa, seharusnya aku yang
mengatakannya.”
“Aku tidak dengar kamu tadi bilang apa.”
“Tidak dengar atau pura-pura tidak dengar.” Dia kembali mengotak-atik
HPnya.
“Terserah.”
“Aku tidak mengerti, Das?”
“Kamu akan mengerti.”
“Kapan?”
Aku menarik nafas dalam-dalam, rasanya aku ingin berteriak menyuruhnya
diam dan berhenti bertanya.
“Kapan, Das?” Tanyanya lagi.
“Bisakah kamu diam sedetik saja.” Aku tidak bisa menahan diriku lagi,
dengan perasaan yang kacau balau aku membentaknya.
Aku sendiri kaget dengan diriku, semua mata di dalam bis itu
tertuju padaku kecuali Pak Supir. Aku menoleh ke belakang dan kulihat Riswan
menatapku tak berkedip, aku menemukan cemburu pada tatapannya.
Kini Fahri terdiam, dia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi sambil
memejamkan matanya. Aku menoleh ke luar jendela bis dengan sejuta perasaan
gundah, seharusnya Riswan juga di bis pertama bukan bis ketiga kataku dalam
hati.
Riswan adalah sahabat Fahri, walaupun mereka bersahabat tapi karakternya
berbeda. Fahri adalah cowok agresif lagi cakep. Aku sendiri tidak pernah
menyangka bisa jadian dengannya padahal aku tidak pernah berharap itu terjadi,
terlalu banyak yang suka padanya jadi aku tidak berani menyukainya. Sedangkan
Riswan, aku tidak tahu apa dia itu cuek atau sombong, dia itu tidak banyak
bicara, mungkin kata-kata yang diucapkannya dalam sehari tidak lebih dari
selembar kertas saja.
Aku, Fahri, dan Riswan tinggal di daerah yang sama, sejak SMP sampai SMA
aku dan Riswan selalu sekelas, rumahnya pun hanya setengah kilometer dari
rumahku tapi bukan berarti aku dekat dengannya bahkan aku seperti tidak
mengenalnya, sedangkan Fahri satu sekolah dengan aku di SMA tapi aku tidak
sekelas dan tidak saling kenal, Aku baru mengenalnya waktu kami sama-sama
mendaftar di universitas tempatku kuliah sekarang ini. Seandainya bukan karena
Fahri mungkin aku tidak akan pernah bertegur sapa dengan Riswan.
“Selama ini kamu tidak pernah membentakku selembut itu.” Katanya lirih.
Pandai sekali dia menggunakan majas ironi. Aku tidak mengacuhkannya,
sejak aku mengenalnya hingga sekarang aku tidak pernah membentaknya karena dia
memang tidak pernah melakukan sesuatu yang pantas dibentak, tapi sekarang aku
yang telah melakukan kesalahan aku pula yang membentaknya.
“Setidaknya menjadi satu kenangan.”
Dia bicara seolah-olah pada dirinya sediri. Matanya masih terpejam namun
dia tidak seperti orang yang sedang tidur karena di wajahnya jelas tergambar
kalau dia sedang memikirkan sesuatu.
“Menjadi satu kenangan.” Aku mengulanginya dalam hati.
Ya, mungkin saja. Semua yang kita lalui bersama akan menjadi kenangan
yang hanya dimiliki oleh kita berdua. Kenangan itu hanya akan disimpan dalam
lembaran-lembaran waktu yang tidak mungkin terulang lagi, jika ingin
mengulanginya putarlah jam agar kembali pada kenangan itu tapi waktu tidak akan
mau mengikuti arah putaran jam tersebut.
“Kita sudah sampai.”
Aku tersentak. Terlalu jauh aku melamun sehingga tak terasa mobil sudah berhenti,
sorak-sorai teman-temanku berhamburan keluar dari mobil pun tidak kudengar.
“Yang lainnya ke mana?” Tanyaku setelah menoleh ke depan dan ke belakang
hanya aku dan Fahri yang berada di dalam bis itu.
“Mereka sudah pergi 15 menit yang lalu.”
“15 menit yang lalu!?”
“Makanya kalau melamun jangan overdosis.” Katanya sambil mengambil
ranselnya kemudian turun dari bis, aku pun menyusulnya. Tiba-tiba dia menarik
tanganku kemudian dengan langkah terpaksa aku mengikutinya.
“Kita mau ke mana?” Tanyaku sambil berusaha melepaskan tanganku.
Dia berhenti tapi masih tetap memegang tanganku.
“Kita ke sini untuk happy-happy bersama teman SMA kita, kamu jangan
membuang kesempatan ini untuk bersilatuhrahmi dengan mereka.”
“Happy-happy katamu, kamu masih happy di antara masalah yang kita hadapi
tapi aku tidak bisa.” Katanya kemudian melanjutkan perjalanannya.
Mau tak mau aku harus ikut karena dia tidak mau melepaskan tanganku dan
bahkan makin erat. Tiba-tiba dia berhenti, jantungku terasa berdetak kencang
ketika kulihat Riswan sedang berdiri di depannya.
“Kalian mau ke mana?”
“Menyelesaikan satu masalah.”
Aku menarik nafas mendengar jawaban Fahri. Perlahan-lahan aku mengangkat
kepalaku namun aku kembali menunduk ketika kutemukan tatapan Riswan yang tajam.
“Ooo….” Katanya kemudian berlalu beranjak meninggalkan kami berdua.
Aku mengikuti langkahnya dengan ekor mataku, agaknya Fahri tidak terlalu
curiga sikapku yang berubah pada Riswan akhir-akhir ini, wajar juga sih kalau
dia tidak curiga karena Riswan memang jarang menyapaku kecuali jika hal yang
penting seperti dua bulan lalu. Cukup mengherankan bagiku ketika dia menyuruhku
ke perpustakaan umum sendirian tapi aku tetap pergi karena seperti biasa,
mungkin urusan penting.
“Apakah kamu mencintai Fahri dengan tulus ?” Kalimat pertama yang
diucapkannya ketika aku duduk di hadapannya waktu itu.
Aku tidak langsung menjawab tetapi mencari tujuan dari pertanyaannya itu
dengan cara menatapnya tapi seperti biasa, dia seakan-akan tidak merasakan kehadiranku.
“Ya.” Jawabku singkat, mungkin dia hanya ingin mengetesku.
Dia diam.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
Dia memperbaiki posisi duduknya,“Pernahkah kamu merasa ada orang yang
mencintaimu seperti kamu mencintai Fahri?”
Ditanya malah balik bertanya.
“Aku tidak mengerti, Ris.”
“Kamu memang tidak pernah mengerti, sejak dahulu kamu tidak pernah
mengerti.”
“Apa maksudmu?” Tanyaku bingung mendengar suaranya yang dingin.
“Aku mencintaimu, Das.”
Hah !!!
“Sejak aku mengenalmu di SMP, tapi aku adalah pembohong yang membohongi
diriku sendiri kalau aku suka padamu.”
“Jangan mengada-ada, Ris.” Kataku tidak percaya.
“Aku tidak suka berbuat lelucon Das, ini adalah kenyataan yang tidak bisa
kupungkiri.”
“Tapi aku dan ….”
“Ya, perlu kamu tahu aku tidak akan melepaskanmu.”
Dia berdiri kemudian meninggalkanku. Aku hanya mampu menarik nafas, tidak
percaya apa yang dikatakannya barusan. Bukankah dia sahabat Fahri? Bukankah dia
sudah tahu perasaan aku dan Fahri? Aku bingung akan problema dalam hidupku.
Mungkin itulah penyebabnya perubahan sikapku akhir-akhir ini, atau mungkin karena
sebab lain.
“Das!”
Aku kaget ketika seseorang menepuk bahuku.
“Akhir-akhir ini kamu sering melamun, kamu sudah berubah, bahkan kamu
pulang tidak memberi tahuku, kesabaranku sudah hampir sirna.”
“Aku memberitahumu kalau aku pulang.”
“Ya, hanya sehari dua hari katamu nyatanya sebulan.”
Aku memejamkan mataku. Aku harus memulainya dari mana?
“Kamu sangat berubah Das, kamu melarang aku ke kostmu, selalu sibuk jika
kuajak bertemu, apa yang mengubahmu selama sebulan itu?”
“Aku pulang karena ayahku sakit.”
“Itu bukan berarti kamu berubah padaku kan.”
Aku menunduk.
“Berhentilah membuat aku seperti ini, kamu menyakitiku dengan sikapmu,
kamu melukaiku dengan rasa penasaran, kamu menyiksaku dengan keadaan ini.” Nada
suaranya tinggi.
Aku hanya mampu diam.
“Bicaralah Das.”
Dia duduk di sampingku. Aku menoleh, menatapnya. Nampak di wajahnya
amarah yang ditahan, matanya tak berkedip memandang sepasang kupu-kupu yang
terbang beriringan di hadapan kami.
Kulihat jam dipergelangan tanganku, sudah hampir seperempat jam kami
hanya membisu.
Aku menarik nafas, “Aku telah menikah, Fahri.” Ucapku lirih.
Dia menatapku dengan tatapan tidak percaya mencari kebenaran dari
ucapanku, sekali lagi aku hanya mampu menunduk menghimpun kekuatan agar tidak
menangis. Aku mengagguk ketika kusadari dia menunggu penegasan dari apa yang
aku katakan barusan.
Dia berdiri kemudian melangkah dua meter di hadapanku. Dia menutup
wajahnya.
“Dengan siapa?” Katanya lima
menit kemudian.
Aku tidak menjawab.
“Kenapa kamu melakukannya padaku, aku tulus dan kamu tidak menghargai
ketulusanku, kamu tahu dengan jelas harapanku selama ini hanyalah cita-cita dan
cinta, cinta itu adalah kamu.” Setengah berteriak dia menunjukku.
“Ya, tapi semuanya tidak bisa kau dapatkan.”
Dia kembali duduk di sampingku, “Kenapa kamu ingin menjauh dariku?”
“Karena aku tahu cita-citamu harus kamu utamakan.”
“Apa maksudmu?”
“Semakin hari ayahku semakin lemah dan dia ingin menjadi wali bagi putri
satu-satunya.”
“Itu bisa kita selesaikan bersama kan,
seandainya kamu mengatakannya padaku mungkin….”
“Jangan berandai-andai lagi, itu tidak mungkin terjadi karena aku baru
tahu keinginan ayahku ketika dia memanggilku seminggu sebelum hari
pernikahanku, aku tidak bisa mengelak lagi, aku tidak mau melihat kekecewaan di
mata orang tuaku, keluargaku, dan semuanya jika aku menolak menikah.” Kataku
terisak.
Fahri meraih jemariku, dipegangnya erat-erat.
“Siapa yang dipilih ayahmu untukmu?”
Tanyanya sambil menghapus air mataku.
Sekali lagi aku hanya diam, bibirku terasa kaku menjawab pertanyaannya.
Aku merasa lemah menjadi seorang perempuan, terkadang masalah hanya mampu
kuselesaikan dengan menangis sedangkan laki-laki selalu bisa tampil tegar
walaupun di dalam hatinya tidak.
“Riswan.” Jawabku kemudian, pendek tapi sangat sulit kuucapkan.
Kali ini hanya bisu yang ada di antara kami. Aku tidak tahu apa yang
dirasakannya tapi yang kurasakan adalah perasaan lega karena beban berat seakan
terangkat dari punggungku.
“Kenapa harus dia?”
Kutemukan sedikit isak tangis dalam kalimatnya. Aku menoleh ke arahnya,
walaupun hari mulai beranjak gelap tapi aku masih bisa melihat beberapa tetes
air mata mengalir di pipinya.
Aku mengarahkan bola mataku ke arah air terjun Bantimurung, tiada
siapa-siapa di sana.
Aku menoleh ke belakang dan aku hanya terpaku ketika melihat seseorang di sana.
“Maaf mengganggu, hari makin gelap dan tinggal kalian berdua yang
ditunggu rombongan.” Katanya kemudian berlalu.
Aku mengikuti langkahnya dengan ekor mataku, sedari tadikah dia di sana? Fahri tidak menoleh
walaupun suara itu sangat dikenalnya, suara Riswan.
Aku melepaskan tangannya pelan-pelan kemudian berdiri.
“Orang-orang sedang menunggu kita.” Aku hendak melangkah tapi dia
memegang tangaku kembali.
“Kamu mencintainya?”
“Entahlah.”
“Aku hanya memerlukan jawaban ya atau tidak.”
“Mungkin belum.” Kataku singkat kemudian melangkah pergi.
“Bagiku sulit melupakan masa lalu denganmu.” Katanya ketika aku mencapai
langkah ketiga.
Aku berhenti tanpa menoleh, “Kamu harus bisa, karena masa depanmu bukan
aku, salah satu keinginanmu telah lepas dan jangan biarkan keinginanmu yang kedua
lepas pula hanya karena kegagalan pertama, aku akan selalu hadir di sisimu
untuk mensupportmu sebagai seorang sahabat.”
Aku pergi meninggalkannya dengan sejuta kesedihan dalam hatiku, ada
kehidupan lain pada langkahku selanjutnya dan langkah yang kulalui akan
kujadikan kenangan yang takkan pernah terhapus dalam catatan hidupanku.***
Get Social Share 2.0!