*Untuk Mengenang Kepergian Ayahq "miss U dad"*
|
miss U dad |
Kisah 2 tahun lalu masih membekas di hatiku dan
tak pernah terhapus oleh waktu. Serpihan-serpihan masa
itu belum hilang,
kadang membara atau malah berurai air mata ketika mengenangnya. Semuanya begitu
tiba-tiba, tanpa peringatan ataupun pertanda yang bisa sedikit menyiapkan hati
untuk menerima kenyataan yang tak mampu dihindari. Hanya kata andai yang bisa
kuucapkan ketika aku benar-benar telah dihadapkan pada mimpi buruk yang kadang
muncul di pikiranku. Andai dia masih hidup!?
08 Desember 2009, pagi yg cerah!
Aku dan kakakku mempersiapkan diri menyambut hari
selasa yang penuh dengan jadwal kuliah masing-masing. Matahari belum tampak
pagi itu kecuali sinarnya yang menyelinap di antara awan yang melayang perlahan
terhembus angin. Aku melanjutkan tugas mid-semester yang semalam belum selesai
padahal deadline-nya hari itu juga. Tiada yang aneh, semua aktivitas masih
lancar seperti biasanya termasuk ponsel kakakku yang melantungkan nada dering
yang memekakkan telingaku.
“Halo,,, siapa,,,,qmu Nur?,,, owh,,,, iya ,,,,
qmi akan pulang,,, tidak akan pakai motor,,,,,,,,,,,.”
Aku diam mendengar percakapan singkat itu, aku
tahu maksudnya tapi aku memilih berdiri dan tetap diam melihat kakakku menelpon
beberapa orang keluarga kami. Tidak ada yang kurasakan saat itu, tidak
ada yang penting untuk kuekspresikan terhadap situasi ini, aku seakan mati rasa
dan hatiku sepertinya membeku untuk memberikan respon.
“Kemasi beberapa bajumu, qT pulang, bapak sudah
tidak ada.”
Masih diam, aku tidak tahu apa yang harus
kulakukan, aku belum menangis meskipun telah melihat kakakku menguraikan air
mata. Di mana rasa ibaku? Kenapa aku tak merasakan apa pun bahkan untuk
menitikkan air mata untuk ayahku? Semuanya seakan masih mimpi bagiku, aq belum
percaya bahwa kini aku kehilangan sosok ayah.
Aku mengemasi tugas mid-ku kemudian menitipkannya
kepada teman seruanganku. Di sinilah aku mulai sadar ketika dia bertanya kenapa
aku tidak ke kampus, aku berusaha tersenyum dan menjawab ayahku meninggal.
Yeah,,, aku menitikkan air mata yang pertama kali atas kepergiannya ketika aku
mengatakan dengan bibirku sendiri bahwa ayahku telah tiada.
******
Bendera putih berkibar melambai-lambai
menyambutku di depan rumah, orang-orang yang berkerumun memperhatikan
kedatangan kami, saat itu rasanya semua mata tertuju pada kami. Aku mengikuti
kakakku dari belakang yang menyalami beberapa orang yang melayat.
Perlahan-lahan aku menaiki tangga dan masih berharap aku segera terbangun dan
mimpi buruk yang kujalani akan pudar dari penglihatanku. Namun, kini retinaku
menangkap sesosok tubuh terbaring kaku tertutup sarung di tengah-tengah orang
yang menangisi kepergiannya. Aku memeluk ponakanku yang tiba-tiba datang
menghampiriku sambil menyebut namaku. Pipiku panas tapi air mata tak mengalir
sama sekali. Aku berdiri menyaksikan kakakku memeluk tubuh tak bernyawa itu,
sekali lagi kupeluk ponakanku dan kukatakan `uwang bapaknya` sedang tidur. Aku
kemudian duduk di samping ayahku, kusentuh tangannya yang sedang terlipat
dibalik sarung yang menutupinya. Dia sama sekali tak bergerak, hatiku serasa
menjerit ketika tak medapat respon darinya, kepeluk dia seerat-eratnya namun
tetap diam. Ya Tuhan, Engkau benar-benar telah mengambil dia dari
sisiku. Ya Tuhan, aku sangat takut ditinggal mati orang yang kusayangi dan kini
Engkau membiarkan aku merasakannya. Ya Tuhan, Engkau benar-benar tega
memisahkanku darinya, tidakkah Engkau merasa iba melihatku yang tercabik-cabik
karena ditinggalkan. Ya Allah, maafkan aku karena tidak ikhlas membiarkannya
pergi, tempatkanlah ayahku di sisi-Mu sebagai salah satu hamba-Mu yang mulia.
Kutatap wajah pucatnya yang seakan tanpa beban,
kupeluk dia sekali lagi sebelum dimandikan, kucium dahinya lalu kubisikkan
permintaan maafku atas kekuranganku menjadi anak yang belum bisa dibanggakannya,
atas segala kesalahanku, dan kubisikkan juga terima kasihku atas semua
pengorbanannya untukku yang belum dan tak mungkin kubalas.
Ada satu orang lagi yang ingin kupeluk, kulihat
dia duduk di kerumunan tamu yang datang. Nafasku kutarik dalam-dalam ketika
melihat wajah tua ibuku, kutatap matanya yang berkaca-kaca. Dia memang sosok
ibu yang sangat tegar, sosok ibu yang akan selalu kubanggakan, sampai detik itu
aku yakin dia tidak membuang setetes air matanya untuk ayahku tapi kutemukan
pandangan matanya yang hampa lagi kosong. Kudekati dia lalu kudekap erat,
“de`ni gaga bapakmu, nak “, bisikannya lemah terdengar diantara isak tangisku.
******
Kulihat tandu itu dibawa pergi meninggalkan
rumahku. Bukan, bukan tandu saja, tapi ayahku. Dia dibawa pergi dan aku tidak
akan pernah melihat dia kembali, aku tidak akan pernah melihat senyumnya lagi,
tidak akan pernah mendengar dia marah, dan sangat menyakitkan aku tidak akan
pernah mendengar dia memanggilku `nak`. Aku teringat kata-katanya ketika
menasehatiku “Nak, jika aku dan ettamu (ibuq) telah tiada tidak akan ada lagi
yang melindungimu, mintalah perlindungan pada Allah, tidak akan ada lagi yang
memperdulikanmu bahkan saudara-saudaramu, kamu akan sendiri dan kesepian
mengarungi dunia maka jagalah dirimu baik-baik.”
Aku mengikuti ayahku dari belakang karena aku
tidak ingin kehilangan dirinya, aku terus menatap tandu itu sampai dia
terbaring di sisi liang lahatnya. Kuliat lubang itu dengan hampa. Di sanakah
ayahku akan terbaring kaku? Dia akan kesepian di sana, dia akan terjepit oleh
tanah, dia akan berada dalam gelapnya bawah tanah (Ya Allah, lapangkanlah
kuburan ayahku, jnganlh Engkau biarkan dia kesepian, terangilah kuburannya
dengan cahaya_Mu yang paling terang). Aku berdiri di sisi lahatnya melihat dia
perlahan-lahan memasuki tempat peristirahatanya yang terakhir (Ya Allah,
tempatkanlah ayahku di surga-Mu). Aku berusaha untuk merelakan kepergiannya
ketika untuk yang terakhir kalinya aku melihat tubuhnya yang terbungkus kain
kapan menghadap ke barat dan pandanganku pada ayahku tiba-tiba dihalangi papan.
Lubang tempat ayahku bersemayam tuk selama-lamanya ditimbuni perlahan-lahan,
terus dan terus ditimbuni hingga tanah di atas tubuh ayahku menjadi gundukan.
Aku menatap gundukan tanah itu kemudian
memejamkan mata. Kutetapkan dalam hatiku agar bersiap-siap menghadapi dunia
tanpa dia namun aku menitikkan air mata bahwa dia takkan pernah ada lagi
untukku. Kulangkahkan kakiku pergi bersama yang lainnya, kubiarkan ayahku
terbaring sendirian di sana.
(Satu hal yang aku sesali kenapa aku menunda
menelpon dia malam itu, setidaknya aku mungkin masih bisa mendengar suaranya
untuk yang terakhir kalinya).
I MISS U, DAD
(RABBIGFIRLII
WAALIWAALIDAYYA WARHAMHUMAA KAMAA RABBAYAANI SHAGIIRAA)
Nb: Thanks to all my friends
specially PBI 1-2 (07) who came to my home at that day.
Get Social Share 2.0!